Pendidikan untuk anak jalanan

Kehadiran anak jalanan merupakan fenomena yang menggejala di kota-kota metropolitan di Indonesia, sebagaimana juga kota Malang. Pembangunan dan pembenahan kota tidak serta merta menawarkan kenyamanan dan kemudahan masyarakat dalam menikmati dan memanfaatkan hasil pembangunan, tapi juga mengundang perhatian masyarakat dari luar kota untuk mengadu nasib di kota Malang.

Pemusatan perkembangan masyarakat terjadi di kota-kota akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan sistem ekonomi kapitalistik, yang memunculkan kota-kota besar sebagai pusat-pusat kehidupan.

Tribina cita kota Malang, tidak saja hanya menawarkan kesempatan besar kepada masyarakatnya maupaun pendatang untuk mendapatkan peluang kerja yang cukup besar, tapi juga terjaminnya hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan bermanfaat.

Anak jalanan merupakan komunitas anak-anak masyarakat di daerah perkotaan yang tidak terwadahi oleh lembaga-lembaga legal pemerintah. Dinas pendidikan kota Malang mencatat angka putus sekolah di kota Malang hingga tahun 2007 menunjukkan trend penurunan dengan lebih menekankan anak putus sekolah bukan berarti berhenti sekolah, dan semakin banyaknya lembaga-lembaga pendidikan yang menampung pelajar dari keluarga yang kurang mampu.

Namun hal ini sangatlah meragukan jika melihat fakta dilapangan, dimana kehadiran anak jalanan yang terlihat banyak mengisi ruang-ruang kosong jalanan Kota Malang. Kemungkinan Dinas pendidikan Kota Malang tentang anak putus sekolah bukan berarti berhenti sekolah benar adanya, dengan memandang anak jalanan juga merupakan pelajar. Sebagaimana isi lagu Iwan Fals “Sore Tugu Pancoran” yang bercerita tentang dua sisi kehidupan seorang pelajar yang harus bekerja sebagai penjual koran.

Jika hal ini benar adanya, sangat berat tentunya beban yang ditanggung para pelajar yang saat ini juga berada dijalanan.

Sistem ekonomi kapitalistik menuntut globalisasi ekonomi dengan menyeragamkan hak dan kewajiban masyarakat, telah menggeser kaidah hubungan sosial kemasyarakatan dengan hukum tunggal pasar, tawar menawar. Semua itu telah pula merubah pola pikir masyarakat untuk lebih mementingkan (mengedepankan) pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari daripada pendidikan.

Tentu saja, dijaman serba sulit dengan kesempatan yang semakin sempit, masyarakat akan lebih memikirkan cara untuk bertahan hidup daripada mengembangkan diri, makna kerja dan pekerjaan pun hanya sebatas syarat untuk bertahan hidup.

Pola pikir ini telah dimiliki oleh masyarakat yang serta merta anak-anak jalanan yang lebih senang mendapatkan pekerjaan ketimbang mendapat kesempatan untuk bersekolah, meskipun gratis. Karena mereka berpikir, segalanya hanya dapat dimiliki dengan dibeli termasuk pendidikan, bahkan kehidupan.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan legal untuk menjamin hak masyarakat dalam memperoleh pendidikan juga mulai terjangkit globalisasi ekonomi. Ribuan lembaga pendidikan berlomba mendapatkan sertifikat ISO 9001:2000 untuk selanjutnya dapat merealisasikan sekolah berstandar internasional. Tentunya bukan hanya untuk sekedar menyelenggarakan pendidikan yang bermutu, tapi juga untuk meningkatkan nilai jual bangku-bangku sekolah.

Dengan kenyataan seperti itu, dapat diungkapkan bagaimana hingga anak jalanan tidak terwadahi dalam lembaga-lembaga pendidikan, bahkan pandangan masyarakat dan pemerintah mulai berorientasi bahwa anak-anak jalanan adalah kelompok yang perlu penanganan khusus dalam pendidikan. Orientasi berpikir anak jalanan tidak pada pentingnya memperoleh kesempatan untuk pendidikan dan mengembangkan diri, tapi lebih pada kesempatan untuk dapat bertahan hidup.

Anak jalanan bukan hanya merupakan anak putus sekolah, dengan cukup dominannya kehadiran anak-anak yang mencoba bertahan hidup dijalanan dengan berpindah-pindah tempat tinggal.

Pola hidup anak jalanan yang menggantungkan hidup di jalanan, telah pula mempertemukan mereka dengan beragam budaya yang terbawa dalam karakter dan kebiasaan beragam orang yang mereka temui di jalanan. Dijalanan, sangat mudah untuk menemui orang dengan beragam karateristik kebudayaan yang melatarbelakangi kepribadian orang.

Anak jalanan pada dasarnya adalah anak-anak yang berada dalam masa pembentukan karakter, dimana masa kanak-kanak yang diwarnai dengan peniruan tingkah laku orang lain dilingkungannya.

Dalam masa pembentukan karakter ini, tanpa ada peran pendampingan dari orangtua dan lembaga pendidikan, tentunya akan lebih banyak berdampak negatif bagi anak-anak dalam membentuk kepribadiannya.

Agresifitas dan bahkan kebingungan secara gender sangat memungkinkan dialami oleh anak yang dengan mudah mengakses keteladanan tanpa adanya peran pendampingan yang mampu memfilter informasi. Bukan hanya peran orang tua dan lembaga pendidikan, peran masyarakat sebagai motifatoris tentunya sangat diperlukan.

Tentunya, diharapkan pula lembaga-lembaga pendidikan legal seperti sekolah, dapat memperbesar kapasitasnya dalam menampung siswa dari keluarga tidak mampu, tanpa harus menunggu bantuan dari pemerintah, mengingat pemerintah menghapus bantuan 6 miliar untuk pendidikan bagi siswa dari keluarga tidak mampu yang sebelumnya mampu menjamin hak memperoleh pendidikan sekitar 5000 siswa di Indonesia.

Dengan tribina citanya, Kota Malang sebagai kota pendidikan tentunya pemerintah kota Malang mampu mengupayakan jaminan hak memperoleh pendidikan bagi seluruh masyarakat kota Malang, tidak hanya sekedar menyajikan gedung dan fasilitas sekolah yang mentereng dengan sertifikat dan standar internasional tanpa memperdulikan hak mendapat pendidikan bagi anak jalanan. Lebih jauh lagi, tentu bila pemerintah serius dengan hal ini, keberadaan sekolah-sekolah alternatif bagi keluarga tidak mampu tentu tidak akan diperlukan, karena sekolah negeri adalah sekolah rakyat dan pendidikan adalah hak masyarakat.

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Leave a comment